Setiap ada yang
bertanya, apakah aku membencimu setelah semua rasa sakit itu? Aku selalu
memberi senyum, sebab aku tidak pernah membencimu. Meski rasa sakit selalu
kudapati darimu.
Barangkali yang
tidak kamu tahu adalah aku mencintaimu tanpa syarat. Aku hadir dalam dirimu
setulus air mengalir dari hulu. Membiarkan diri menuju muara meski sepanjang
perjalanan banyak duka menghalangi.
Aku, biarlah
menjadi sepi di dada, menjadi alir air di pelopak mata. Hingga aku menyadari
kamu memang tak pernah mampu melihat semua yang telah kuberi. Kamu memang tak
pernah sanggup mengerti semua ketulusan ini. Kamu adalah perasaan yang tak
kuberi syarat untuk ada, namun begitu pedih akhirnya.
Aku lebih suka bertaruh untuk luka baru
daripada membenamkan diri dalam luka dengan kisah yang pernah ada di masa lalu.
Hari ini adalah perjalanan yang berisi kemungkinan, kemarin adalah
cerita-cerita yang –jika perlu- hanya untuk dikisahkan saja.
Kita sama-sama
berusaha mendayung perahu. Kita mengadang badai dalam hujan. Kita menahan terik
panas di perjalanan. Kita menyesuaikan diri dengan rimba. Kita belajar seni
bertahan hidup dalam derita. Segalanya kita siapkan agar bia hidup di masa
depan yang kita nanti. Kita tak pernah mundur selangkahpun. Kita bahkan
mencatat doa panjang dan berulang. Doa-doa untuk terus kuat dan tak
terkalahkan.
Namun misteri
langit tak bisa ditebak. Nyatanya kamu
memang bukan jodohku. Walau tangis habis mempertahankanmu, ternyata memang kamu
tak lagi untukku. Padahal, kita telah bekerja setengah mati sepanjang waktu.
menanam begitu banyak hal untuk bekal hari nanti.
Nyatanya kita kalah juga. Kita tak pernah benar-benar sekuat yang kita
yakini. Semua yang kita tanam dengan hati, hanya jadi bangkai ingatan.