“Duka orang yang berbuat dosa lebih baik
daripada keangkuhan orang yang taat”
Syekh Abu al-abbas al-Mursi r.a
suatu ketika didatangi seorang ahli ibadah yang dikenal zuhud tetapi Syekh
tidak menyambutnya dengan hangat. Lalu, datang orang yang berlumur dosa, dan
Syekh menyambutnya dengan ceria. Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, ia
menjawab “Tak kupedulikan orang pertama karena aku melihat pada dirinya tanda
tanda kesombongan dan kebanggaan akan ibadahnya. Sebaliknya, kusambut orang
kedua dengan gembira karena
aku melihat tanda-tanda penyesalan dan kerendahan pada dirinya.”
Dengan demikian, penyesalan si
pelaku maksiat menjadi sebab Syekh r.a menyambutnya, sementara keangkuhan dan
kebanggan orang yang taat menjadi sebab Syekh mengacuhkannya.
Keadaan serupa tergambar dalam
kisah terkenal tentang Bani Israil. Diceritakannya bahwa suatu ketika seorang
ahli ibadah berkumpul dengan pelaku
maksiat di satu tempat. Maksiat itu mendekati ahli ibadah seraya berbisik dalam
hati, “Semoga dengan mendekatinya Allah mengasihi diriku. Namun, si ahli ibadah
malah menjauh karena angkuh dan merasa tidak layak didekati orang itu.
Seketika Allah menurunkan wahyu kepada nabi yang hidup pada
masa tersebut, “Keduanya telah memulai kembali amalnya. Amal si ahli ibadah
sepanjang hayatnya terhapus lantaran kesombongan dan keangkuhannya. Sementara
semua dosa pelaku maksiat diampuni karena duka dan penyesalannya.”
Perhatikan bagaimana amal yang
dilakukan sepanjang hayat terhapus begitu aja akibat kesombongan dan
keangkuhan. Perhatikan pula bagaimana dosa yang begitu banyak diampuni
semata-mata karena rasa duka dan penyesalan. Maka, kita harus memelihara rasa
tawadu’ dan rendah hati. Jangan sampai memelihara sikap sombong dan tinggi
hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar