Senin, 27 Juni 2022

Ngaji Ta'lim


Seiring berkembangnya zaman yang tidak pernah berhenti berenovasi, aspek-aspek kehidupan pasti akan mengalami perubahan. Termasuk pada etika remaja dalam kesehariannya kepada sesama teman, pada guru dan dalam bersosial. Sebab masa remaja adalah masa untuk menyerap banyak ilmu dan pengetahuan untuk diamalkan dalam kehidupan. Pentingnya ilmu pengetahuan untuk dipelajari tidak kalah penting dengan penerapan moral dan etika. Dapat kita amati bersama betapa banyak orang pintar dan cerdas, ahli dalam segala bidang ilmu. Tetapi sedikit yang menggunakan ilmunya dengan baik dan benar.

Sejak dulu problematika ini sudah seringkali dibahas dalam kitab Ta’limul muta’allim bahwa sudah sepatutnya pelajar atau dalam kitab disebutkan “penuntut ilmu” harus bisa selalu mengambil faidah (مُسْتَفِيْد) dari setiap kejadian yang telah ia dapat,yang ia lihat dan yang ia dengarkan. Dengan selalu membawa buku dan pen kemanapun ia pergi. Hal tersebut adalah cara agar ilmu tetap melekat. Kita  harus bisa memanfaatkan kesempatan untuk mengambil hikmah dari para guru dan ulama’. Karena apabila kesempatan baik telah hilang, tidak akan kembali lagi. Maka sangat dianjurkan untuk menulis. Orang yang senang menulis sudah tentu ia suka membaca, sedangkan banyak orang pintar dan menguasai ilmu tetapi ia tidak mau menulis. Apalagi remaja masa kini yang sudah banyak penyakit lupanya, jika tidak dengan  menulis ia akan seterusnya lupa pada ilmu yang telah ia pelajari. Sedangkan manfaat dari tulisan tersebut akan terasa kelak ketika catatan itu sudah kita buka dan bisa kembali mengingat ilmu yang tanpa disadari telah hilang.

Umur manusia itu pendek, sedangkan imu sangatlah luas dan banyak. Segala bentuk ilmu yang dihafal bisa saja lupa namun akan tetap melekat dan abadi apabila dicatat. Dengan begitu, tidak bisa kita sebagai manusia lemah hanya mengandalkan ingatan saja. Padahal kita tau bahwa manusia memiliki keterbatasan.

Pesan yang juga disampaikan Ustadz Saili bahwa kita jangan terlalu sibuk meminta jodoh yang sholih, tatapi kita lupa memperbaiki diri sendiri agar menjadi perempuan sholihah. Yang penting sekarang adalah bagaimana memperbaiki diri dulu.  Bagaimana nasib dan nasab, itu bisa diperbaiki. Tidak perlu khawatir berlebihan memilikirkan bagaimana nasib masa depan. Kita hanya perlu memaksimalkan apa yang sedang dijalani. Berusaha menjadi baik dan lebih baik.

Terkadang terbesit sebuah pertanyaan mengapa anak orang sholeh atau kiai meskipun nakal pada akhirnya ia akan tetap menjadi baik? Sebab orang-orang sholeh pilihan Allah atau kiai selalu berkhidmat dan berdoa dengan ikhlas untuk ummat dan santrinya, meneruskan dakwah rosululllah. Mencurahkan segala ilmunya dan tenanganya untuk ummat. Mengabdi tanpa pamrih untuk islam. Sehingga harapan dan doa tersebut kembali pada dirinya sendiri termasuk keluarganya sehingga  menjadi jalan untuk anak cucu beliau menjadi orang mulia. Faktanya memang benar, ulama’ yang memiliki sambungan nasab dengan para wali sebelumnya akan terus meregenerasikan keturunan yang tak jauh alim dari pendahulunya.

Selain itu,kita juga harus siap dengan penderitaan dan kehinaan dalam belajar (تَحَمُّلِ الْمَشَقَّةِ والْمَذَلَّةِ) agar mendapatkan ilmu yang manfaat dan berkah. Penderitaan yang dimaksud berupa tirakat di Pesantren yang tidak senyaman fasilitas dirumah. Segala sesuatunya selalu sederhana dan jauh dari pantauan orang tua. Mengurangi waktu tidur untuk lebih lama belajar dan mengaji, menambah kapasitas ibadah.  Sedangkan Kehinaan yang dimaksud adalah meninggalkan almamater kebanggan berupa gelar atau jabatan. Semisal ia adalah keturunan kiai besar, keturunan pejabat, keluarga artis. Maka harus tetap mensejajarkan dirinya dengan santri lain. Hidup di Pesantren tidak akan ada perbedaan mana anak orang mampu atau tidak, mana anak pejabat dan anak orang miskin. Semuanya sama-sama penuntut ilmu. Artinya kita harus waro’, sedangkan orang yang menyombongkan diri ia akan tertutup hidayah dan akan sulit menerima kebaikan yang akan masuk pada dirinya. Sebab mencari ilmu tidaklah sembarang, tidak sama dengan mencari pekerjaan.

Sorang Ulama’ meriwayatkan hadist dari Rosulullah SAW “Barangsiapa tidak berlaku wara’ ketika belajar ilmu, maka ia akan diuji oleh Allah dengan salah satu dari tiga macam ujian, mati muda, ditempatkan bersama orang-orang bodoh, atau diuji menjadi pelayan pemerintah.”

Tetapi menurut Ustadz Saili selaku pengajar kitab Ta’lim ini mengatakan bahwa hadist ini dho’if (lemah), tapi setidaknya dapat dijadikan pegangan agar kita tidak lalai dan menghindari  hal yang mencegah ilmu masuk. Jika sudah wara’, ilmu yang ia terima lebih mudah dicerna dan mudah. Karena ilmu tidak akan masuk pada orang yang menyombongkan diri karena merasa lebih baik dan lebih tinggi dari yang lain. Termasuk sifat wara’ adalah menghindari rasa kenyang, banyak tidur, dan banyak bicara yang tidak berguna. Jika bisa, hindari makanan pasar, karena makanan pasar itu lebih dekat kepada najis dan kotor, ketika membuatnya jauh dari dzikir kepada Allah lebih dekat kepada kelalaian.  Sebab mata orang fakir memperhatikan makanan itu tapi mereka tak beruang dan tidak mampu membeli. Tentu mereka menahan rasa sakit karena tak mampu membelinya. Oleh karena itu makanan pasar itu hilang keberkahannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BANGKAI INGATAN

  Setiap ada yang bertanya, apakah aku membencimu setelah semua rasa sakit itu? Aku selalu memberi senyum, sebab aku tidak pernah membencimu...