Seiring berkembangnya zaman yang tidak pernah berhenti berenovasi, aspek-aspek kehidupan pasti akan
mengalami perubahan. Termasuk pada etika remaja dalam kesehariannya kepada
sesama teman, pada guru dan dalam bersosial. Sebab masa remaja adalah masa
untuk menyerap banyak ilmu dan pengetahuan untuk diamalkan dalam kehidupan.
Pentingnya ilmu pengetahuan untuk dipelajari tidak kalah penting dengan penerapan
moral dan etika. Dapat kita amati bersama betapa banyak orang pintar dan
cerdas, ahli dalam segala bidang ilmu. Tetapi sedikit yang menggunakan ilmunya
dengan baik dan benar.
Sejak dulu problematika ini sudah seringkali dibahas dalam kitab Ta’limul
muta’allim bahwa sudah sepatutnya pelajar atau dalam kitab disebutkan
“penuntut ilmu” harus bisa selalu mengambil faidah (مُسْتَفِيْد) dari setiap
kejadian yang telah ia dapat,yang ia lihat dan yang ia dengarkan. Dengan selalu
membawa buku dan pen kemanapun ia pergi. Hal tersebut adalah cara agar ilmu tetap melekat. Kita harus bisa memanfaatkan kesempatan untuk
mengambil hikmah dari para guru dan ulama’.
Karena apabila kesempatan baik telah hilang, tidak akan kembali lagi. Maka
sangat dianjurkan untuk menulis. Orang yang senang menulis sudah tentu ia suka
membaca, sedangkan banyak orang pintar dan menguasai ilmu tetapi ia tidak mau
menulis. Apalagi remaja masa kini yang sudah banyak penyakit lupanya, jika
tidak dengan menulis ia akan seterusnya
lupa pada ilmu yang telah ia pelajari. Sedangkan manfaat dari tulisan tersebut
akan terasa kelak ketika catatan itu sudah kita buka dan bisa kembali mengingat
ilmu yang tanpa disadari telah hilang.
Umur manusia itu pendek, sedangkan imu sangatlah
luas dan banyak. Segala bentuk ilmu yang dihafal bisa saja lupa namun akan
tetap melekat dan abadi apabila dicatat. Dengan begitu, tidak bisa kita sebagai
manusia lemah hanya mengandalkan ingatan saja. Padahal kita tau bahwa manusia
memiliki keterbatasan.
Pesan yang juga disampaikan Ustadz Saili bahwa kita
jangan terlalu sibuk meminta jodoh yang sholih, tatapi kita lupa memperbaiki
diri sendiri agar menjadi perempuan sholihah. Yang penting sekarang adalah
bagaimana memperbaiki diri dulu.
Bagaimana nasib dan nasab, itu bisa diperbaiki. Tidak perlu khawatir
berlebihan memilikirkan bagaimana nasib masa depan. Kita hanya perlu memaksimalkan apa yang sedang
dijalani. Berusaha menjadi baik dan lebih baik.
Terkadang
terbesit sebuah pertanyaan mengapa anak orang sholeh atau kiai meskipun nakal
pada akhirnya ia akan tetap menjadi baik? Sebab orang-orang sholeh pilihan
Allah atau kiai selalu berkhidmat dan berdoa dengan ikhlas untuk ummat dan
santrinya, meneruskan dakwah rosululllah. Mencurahkan segala ilmunya dan
tenanganya untuk ummat. Mengabdi tanpa pamrih untuk islam. Sehingga harapan dan
doa tersebut kembali pada dirinya sendiri termasuk keluarganya sehingga menjadi jalan untuk anak cucu beliau menjadi
orang mulia. Faktanya memang benar, ulama’ yang memiliki sambungan nasab dengan
para wali sebelumnya akan terus meregenerasikan keturunan yang tak jauh alim dari
pendahulunya.
Selain itu,kita juga harus siap dengan penderitaan
dan kehinaan dalam belajar (تَحَمُّلِ
الْمَشَقَّةِ والْمَذَلَّةِ) agar mendapatkan
ilmu yang manfaat dan berkah.
Penderitaan yang dimaksud berupa tirakat di Pesantren yang tidak senyaman fasilitas dirumah. Segala
sesuatunya selalu sederhana dan jauh dari pantauan orang tua. Mengurangi waktu
tidur untuk lebih lama belajar dan mengaji, menambah kapasitas ibadah. Sedangkan Kehinaan yang dimaksud adalah
meninggalkan almamater kebanggan berupa gelar atau jabatan. Semisal ia adalah
keturunan kiai besar, keturunan pejabat, keluarga artis. Maka harus tetap
mensejajarkan dirinya dengan santri lain. Hidup di Pesantren tidak akan ada
perbedaan mana anak orang mampu atau tidak, mana anak pejabat dan anak orang
miskin. Semuanya sama-sama penuntut ilmu. Artinya kita harus waro’, sedangkan
orang yang menyombongkan diri ia akan tertutup hidayah dan akan sulit menerima
kebaikan yang akan masuk pada dirinya. Sebab mencari ilmu tidaklah sembarang,
tidak sama dengan mencari pekerjaan.
Sorang Ulama’ meriwayatkan hadist dari Rosulullah SAW “Barangsiapa
tidak berlaku wara’ ketika belajar ilmu, maka ia akan diuji oleh Allah dengan
salah satu dari tiga macam ujian, mati muda, ditempatkan bersama orang-orang
bodoh, atau diuji menjadi pelayan pemerintah.”
Tetapi menurut Ustadz Saili selaku pengajar kitab Ta’lim ini mengatakan
bahwa hadist ini dho’if (lemah), tapi setidaknya dapat dijadikan pegangan agar
kita tidak lalai dan menghindari hal
yang mencegah ilmu masuk. Jika sudah wara’, ilmu yang ia terima lebih
mudah dicerna dan mudah. Karena ilmu tidak akan masuk pada orang yang
menyombongkan diri karena merasa
lebih baik dan lebih tinggi dari yang lain. Termasuk sifat wara’ adalah
menghindari rasa kenyang, banyak tidur, dan banyak bicara yang tidak berguna.
Jika bisa, hindari makanan pasar, karena makanan pasar itu lebih dekat kepada
najis dan kotor, ketika membuatnya jauh dari dzikir kepada Allah lebih dekat
kepada kelalaian. Sebab mata orang fakir
memperhatikan makanan itu tapi mereka tak beruang dan tidak mampu membeli. Tentu
mereka menahan rasa sakit karena tak mampu membelinya. Oleh karena itu makanan
pasar itu hilang keberkahannya.